Selasa, 03 Juli 2012

HUKUM MEMINTA JABATAN

(Buah Dari Kerusakan Demokrasi, Partai & Pemilu)
oleh : Abu Jibrin

Berbicara tentang sistem Demokrasi, maka tidak terlepas dari perkara partai dan intikhoobaat (pemilihan), mulai dari pemilihan RT/RW, Lurah, Camat, Walikota/Bupati, Gubernur, sampai pemilihan Presiden. Sebuah sistem yang tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad -shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam- juga tidak di zaman para shahabat -ridhwanallohu 'anhum ajma'in-.
Sistem demokrasi merupakan sistem bid'ah, sebuah sistem yang merusak sendi-sendi syari'at Islam yang sekaligus menipu, meracuni dan menjauhkan ummat ini dari sistem (dien) yang lebih mulia, lebih haq dan yang pasti mendatangkan manfa'at & keselamatan bagi siapa saja yang meyakininya, yakni Dienul Islam. Kecuali siapa saja yang di hatinya ada penyakit, yakni ragu-ragu akan kebenaran dienul Islam sebagai The Way of Life for everyone, tidak yakin bahwa Islam sebagai solusi (jalan keluar) terhadap berbagai masalah yang tiap hari membebani kondisi masyarakat Indonesia dari berbagai aspek (politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pemerintahan, dsb).

Apa saja kerusakan yang dihasilkan dari sebuah buah busuk Demokrasi (pemilu) ? Banyak sekali perkara-perkara yang bertentangan dengan syari’at Islam a.l :
1. Meminta-minta jabatan. Dalam proses pemilihan diawali dengan masa kampanye dan umbar janji-janji program, yang intinya mereka berharap dipilih (minta-minta diberikan jabatan). Hal ini bertentangan sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam- :
إِنَّا لا نُوَلِّي هذا مَنْ سَأَلَه وَ لاَ من حَرَصَ عليه
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733) 

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178)

2. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan. Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.

3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari’at ALLOH ‘Azza wa Jalla dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demokrasi mereka –seperti yang mereka katakan– melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan. 

4. Menyamakan suara antara suara seorang yang ‘alim (‘ulama) dengan orang jahil, pelaku ma’siat, ahlusy syirk, ahlul bid’ah, pelacur dst..dst..

5. Memecah persatuan (ukhuwah) sesama ummat Islam, saling mencari kelemahan lawan, saling mencaci dan mencela

6. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop, bercampurnya (ikhtilat) antara pria dengan wanita yang bukan mahromnya dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan ALLOH ta’aala di bawah semboyan demokrasi yang populer, “Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”

7. Menghalalkan segala cara demi mancapai ambisi pribadi dan partainya

8. Mengajarkan ta’ashub (bangga dengan golongan/partainya). Islam mengecam keras terhadap penganut paham ‘Ashoobiyyah yakni paham sukuisme dan fanatisme kebangsaan (nasionalisme), partai/golongan. Sebagaimana ancaman Nabiulloh Muhammad -shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam- :
“Bukan golongan kami siapa saja yang menyeru kepada ‘ashobiyah, bukan golongan kami siapa saja yang berperang di atas (karena) ‘ashobiyah dan bukan golongan kami siapa saja yang mati di atas ‘ashobiyah” (H.R Abu Daud)
Di hadits yang lain beliau -shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam- bersabda :
“Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka Jahannam atau (jika tidak) mereka akan menjadi lebih hina di sisi ALLOH dari kumbang yang hidungnya mengeluarkan kotoran.” (Riwayat Abu Dawud, Turmidzi dan Ibnu Hibban. Turmidzi menghasankan hadits ini).

9. Menjadikan arena intifa’ (azas manfa’at) yakni memanfa’atkan segala fasilitas yang bukan haknya demi ambisi pribadinya/partainya sehingga menyuburkan lahan Korupsi, Manipulasi, Nepotisme, serta membodohi rakyat dengan politik uang (money politic).

10. Menyuburkan lahan tabdzir (mubadzir), menyia-nyiakn waktu dan harta

11. Sitem demokrasi menimbang dan memutuskan kebenaran berdasarkan suara terbanyak, intinya jika suara yang terpilih banyak (majority) maka itulah kebenarannya, sekalipun bertentangan dengan Al-Qurâ & Al-Hadits. Jadi jangan harap Hukum Islam akan tegak dengan cara demokrasi [baca: voting]

12. Tidak ada lagi rasa Al-Wala` wal Baro`, siapa saja boleh masuk ke dalam partainya, entah dia ahlul bid’ah, gemar ma’siat, entah dia kafir, entah dia musyrik hatta sekalipun dia atheis, silahkan masuk ke dalam partainya demi mencapai ambisi dunia. Hal ini sudah terbukti di negara kita ini Indonesia. Demi menyelamatkan suaranya tidak hilang (beralih ke partai lawannya) di gedung dewan (pusat atau daerah) maka partai yang memakai baju Islam yang memiliki jargon partai dakwah (sekarang sudah berubah menjadi partai terbuka), rela menyerahkan wala`nya kepada orang kafir (Kristen) di Papua.

13. Melahirkan sifat sombong dan meremehkan orang lain serta bangga dengan pendapatnya masing-masing karena yang menjadi ini permasalahan adalah mempertahankan pendapat. Dan ALLOH ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing).” (Surat Al-Mukminun: 53)

14. Yang pasti Demokrasi/partai/pemilu merusak ‘Aqiedah Islamiyah secara perlahan tapi pasti. Inilah target utama (pokok/primer) dari musuh-musuh Islam. Dengan racun Demokrasi tersebut akan menggerogoti bagian urgent (terpenting) di dalam tubuh Islam, menjadi borok dan bernanah sehingga rusak bagian tubuh tsb maka harus diamputasi, dari perkara terkecil hingga perkara terbesar. Jika sudah diamputasi satu per satu, sendi per sendi, maka jadilah Islam yang marginal, Islam yang hanya menjadi penonton, Islam yang hanya simbolik, tidak ada ruh, maka suatu saat nanti di Indonesia ini “orang Islam” digiring dan dibentuk menjadi orang Islam yang tidak perlu dengan agama Islam, tidak perlu sholat, tidak perlu dengan Al-Qurân, tidak perlu dengan ALLOH ‘Azza wa Jalla,..dan akhirnya tanpa disadari jadilah ia seorang ATHEIS TULEN.. ! ! ! ! ! ! ! Na’audzubillaahi min dzaalik

Itulah akhir dari memakan buah busuk yang bernama Demokrasi dengan perangkatnya yang bernama partai dan pemilihan umum (intikhoobaat).

Silahkan anda pilih Islam atau Demokrasi…Silahkan anda pilih Surga atau Neraka..????


Semoga kiranya ALLOH ta’aala menyelamatkan keturunan hamba dari bahaya racun Demokrasi, partai dan pemilihan.

Wallohul musta’aan
Wallohu ta’aala a’lam bishshowab

Bumi ALLOH, Ahad, 11 Sya’ban 1433 H / 1 Juli 2012

Abu Jibrin


Referensi tambahan silakan buka artikel : referensi tambahan

0 komentar:

Posting Komentar