Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang
diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan
cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan
berpasang-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang
dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan
dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama
anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman
manis kepada anak-anak. Dari sikapnya itu aku tertarik untuk
mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk
mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia
menolak bersalaman dengannku, dan cuma mengatakan, "Maaf..." dan
berlalu begitu saja meninggalkanku.
Betapa
malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku. "Ini cewek
kok jual mahal banget !" Padahal begitu banyak cewek yang justru
berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau !"
ujarku. Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut.
Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal
sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis
itu, aku selalu ikut bersama papa.
**********************************
Gadis itu bernama Nina, kuliah di Fakultas Kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke rumahnya; dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya: sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapaian. Pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.
Hingga
suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina
baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun
dari mobil. Namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan dan
mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas
keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami
untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus
dirawat di rumah sakit.
Keesokan
harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa
kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker darah). Aku
bertanya, "Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal
itu ?". Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan
khawatir. Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya.
Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada
yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan semalaman.
Keesokan
harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas
kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung orang
tuanya. Karena orang tuanya tak dapat mengantarnya, aku pun menawarkan
diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih naik taksi dengan
alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia
menitipkan kertas untukku kepada mamanya.
Alangkah
hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, “Maaf saat
ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk dan aku pulang
dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin pacaran,
tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan seperti
pacaran itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang
rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya –na’udzubillahi min
dzalik.
Namun entah mengapa ketika aku
melihat Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu. Sejak
perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar
sarjana aku raih. Lalu aku pun bekerja di perusahaan milik keluargaku
sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku dalam bekerja,
papa Nina ,menyukaiku hingga hubungan kami menjadi akrab dan
kuutarakanlah maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata
papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.
Suatu
hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat darah keluar dari
hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap darah dan
keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada
saat aku menyentuh wajahnya. Betapa kaget diriku dibuatnya, aku tidak
menyangka sama sekali Nina akan manamparku. Sungguh betapa istiqomahnya
dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh laki-laki yang bukan
muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam
agama.
Kejadian tersebut secara tak
sengaja terlihat mama Nina maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga
sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas
infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di
kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu kamar mandi
dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena
terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah
sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian
tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun bertambah bingung apa
yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir panjang aku
memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari keluar
dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga
menjadikan orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu Nina.
Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa
melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina
beranjak untuk melaksanakan shalat shubuh di masjid, aku pun turut
shalat. Namun setelah shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana.
Aku
mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang
kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan
diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia bosan
telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis
sehingga pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter,
paru-paru Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi...
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun membaca dan membalas SMS tersebut. Akku juga membuka beberapa SMS yang masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku. Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas SMS dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.
Namun,
tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan saudari-saudarinya untuk
mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku
mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi
berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk
berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada
hal-hal sepeti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non
Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari
seorang ikhwan yang mencintai karena Alloh bukan ats dasar hawa nafsu.
Akhirnya aku tahu kan sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin
menjalankan syariat Islam secara benar. Hari berlalu dan aku terus
belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina dan
saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat
pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama
menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Alloh untuk
senantiasa beribadah kepada-Nya.
Niatku
pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun
kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil
saudari-saudarinya yang dicintainya karena Alloh.....
Melihat
hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung mama kandung Nina
untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarulloh (atas
kehendak Alloh), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada
kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga
aku pun haus dirawat di rumah sakit. Orang tua Nina datang dan
membawanya kembali ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada
saat itu aku juga diopname.
Di kota
Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena papa Nina
kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit dan rumah
yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di manakah ia
berada. Karena kondisinya masih lemah, diapun tak bisa berbuat apa-apa,
bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari satu
tempat ke tempat yag satunya agar tidak tahu di mana keberadaaannya,
karena papanya tidak ingin ada akhwatyang menjenguk Nina. Sampai HPnya
pun diambil dari Nina.
Namun, karena Nina
masih mempuny HP yang ia sembunyan dari papanya, sehingga beberapa
kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, akhirnya
Nina dikurung di dalam kamar. Mendengar hal itu, aku langsung menyusul
Nina ke Makassar dan aku sempat bicara dengannya dari balik pintu. Nina
menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di kota itu.
Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim beberapa
hari dan aku menginap di sana.
Papa Nina
menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi. Setibanya di
rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina, bahwa ia tidak
bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan sagat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh.....Itulah doaku saat itu.
Sepulang
dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati
Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari hidung
dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada
goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit, diperjalanan, kondisi
Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata
agar akku harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat
tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina
yang terus berdzikir sambil menangis.....Dia juga selalu menanyakan
saudari-saudarinya dimana ?
Setibanya
di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan Nina tergores. Aku
pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata, tangan Nina
tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan keluar dari
kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela
sehingga menyebabkan tangannya tergores. Nina tak kunjung sadar hingga
larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit
dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan
dia tidak menyadari kalau hari telah larut malam. Dia Cuma berkata,
“Pengin ketemu saudariku karena sudah tak ada waktu lagi.” Berhubung
Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah bebrapa saat melangkah.
Aku
benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang
menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang saudarinya
untuk menemani. Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas
dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat
Nina tidak lagi berdaya.... Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu
kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis SMS kepada saudari
Nina untuk memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun begitu dokter
keluar, masya Alloh !
Denyut jantung
Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar
kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan tiba-tiba penyakitku
pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga.....
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat Jum’at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka matanya.
Begitu
lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi,
menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi
qadarulloh istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia
ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum’at,
lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya
kubuka kain putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat
berseri.....
Aku harus merelakan
semua ini, aku harus kuat dan menerima takdir-Nya. Teringat kata-kata
Nina, “Berdoalah jika memang Alloh memangilku lebih awal dengan doa, “Ya
Alloh, berilah kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan
berilah ganti yang lebih baik.” Setelah pemakaman, aku langsung balik ke
Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil...Astaghfirullah !!! aku
lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut
dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan
menyampaikan bahwa Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka
pasti sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cintai karena
Alloh. Dari ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan
sepertinya dia sangat membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?
Sekiranya
mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina selalu memanggil nama
mereka, tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina terlihat banyak SMS
yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya.
Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan kesalahan diriku
pribadi.
“Salam sayang dari Nina tu
kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar. Teruslah
berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran atas perhatian kalian....”
*****
Tak
beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim Muda Elfata,
redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi SMS
tersebut adalah, “Afwan , mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca
mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Alloh’ di mana Kak
Nina telah meninggal dan kini Kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2
pekan (Kak Adhit –red) dirawat di rumah sakit karena penyakit pada
paru-parunya. Sebelum sempat dioperasi, maut telah menjemputnya. Ana
menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam, memberi
dukungan ke Kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang yang
kutemui di jalan juga selalu bertanya, Kak Adhit bagaimana ? Ana salah
satu ukhti dalam cerita tersebut...Syukran.”
PERCIK RENUNGAN
Subhanalloh ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita jadikan sebuah cermin untuk berkaca. Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak meladeni tawaran cinta asmara yang tak terselimuti indahnya syariat. Padahal Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan, pertolongan, dan sandaran bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi sesulit apapun, kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.
Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam berkonsisten dengan syariat ini. Bahkan bisa jadi kesulitan demi kesulitan yang kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita telah mengamalkan ajaran agama ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang akan syariat ini seringkali menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya rambu-rambu yang telah dicanangkan agama.
Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi titik awal seseorang merasakan indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana yang terjadi pada Adhit, ikhwan yang menceritakan kisahnya ini. Semoga Alloh merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua dan
menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih yang dijanjikan surga-Nya. Amiin.
Sumber:
Kumpulan KISAH NYATA UNGGULAN Majalah ELFATA ‘Seindah Cinta ketika Berlabuh’, 2008, FAtaMeDia
0 komentar:
Posting Komentar