Idris Tawfiq, seorang pastor di Inggris yang akhirnya menerima 
Islam. Ia menjadi mualaf setelah mempelajari Islam dan melihat sikap 
kelemahlembutan serta kesederhanaan pemeluknya.
Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah seorang pastor gereja Katholik Roma di 
Inggris. Mulanya, ia memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Baginya 
saat itu, Islam hanya identik dengan terorisme, potong tangan, 
diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke 
Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan 
kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta 
keramahan sikap mereka.
Ia melihat, sikap umat Islam ternyata sangat jauh bertolak belakang 
dengan pandangan yang ia dapatkan selama ini di negerinya. Menurutnya, 
Islam justru sangat lembut, toleran, sederhanan, ramah, dan memiliki 
sifat keteladanan yang bisa dijadikan contoh bagi agama lainnya.
Di Mesir inilah, Tawfiq merasa mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. 
Awalnya hanya sebagai pengisi liburan, menyaksikan Pirmadia, unta, 
pasir, dan pohon palem. Namun, hal itu malah membawanya pada Islam dan 
membuat perubahan besar dalam hidupnya.
”Awalnya mau berlibur. Saya mengambil penerbangan carter ke Hurghada. 
Dari Eropa saya mengunjungi beberapa pantai. Lalu, saya naik bis pertama
 ke Kairo, dan saya menghabiskan waktu yang paling indah dalam hidup 
saya. Ini adalah kali pertama saya pengenalan ke umat Islam dan Islam. 
Saya melihat bagaimana Mesir yang lemah lembut seperti itu, orang-orang 
manis, tapi juga sangat kuat,” terangnya.
"Perkenalan saya dengan Islam datang dari seorang anak kecil di jalanan 
di Kairo, membersihkan sepatu dengan sandal jepit di kakinya. Dia 
melihat kulit putih saya dan menyapa saya dengan assalamu alaikum. 
Selama 40 tahun di Inggris, saya pernah melihat Muslim; saya melihat 
mereka di jalan-jalan, dan saya catat apa yang televisi katakan pada 
saya tentang Muslim yang akan memotong tangan saya atau memukuli para 
wanita; tapi anak kecil itu sungguh membuka jendela yang lain tentang 
Islam. Setelah saya menjadi Muslim beberapa tahun kemudian, saya katakan
 pada audiens saya di Manchester Metropolitan University tentang anak 
itu. Saya memberitahu mereka bahwa pada Hari Penghakiman ia akan 
mendapatkan kejutan dalam hidupnya."
”Saya menyaksikan mereka tenang, lembut, dan tertib dalam beribadah. 
Begitu ada suara panggilan shalat (azan–Red), mereka yang sebagian 
pedagang, segera berkemas dan menuju Masjid. Indah sekali saya 
melihatnya,” terangnya.
Dari sinilah, pandangan Tawfiq berubah tentang Islam. ”Waktu itu, 
seperti warga Inggris lainnya, pengetahuan saya tentang Islam tak lebih 
seperti yang saya lihat di TV, memberikan teror dan melakukan 
pengeboman. Ternyata, itu bukanlah ajaran Islam. Hanya oknumnya yang 
salah dalam memahami Islam,” tegasnya.
Ia pun mempelajari Alquran. Pelajaran yang didapatkannya adalah 
keterangan dalam Alquran yang menyatakan: ‘ Sesungguhnya kamu dapati 
orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman 
adalah orang Yahudi dan Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang 
paling dekat persahabatannya dengan orang beriman adalah orang yang 
berkata, ”Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu 
disebabkan di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan 
rahib-rahib, (juga) karena seungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
 (Al-Maidah ayat 82).
Ayat ini membuatnya berpikir keras. Baginya, Islam sangat baik, toleran.
 Justru, pihak lain yang memusuhinya. Inilah yang menjadi awal keislaman
 mantan pastor Inggris dan akhirnya menerima Islam.
Sepulang dari Mesir, Tawfiq masih menjadi penganut agama Katholik. 
Bahkan, ketika dia aktif mengajarkan pelajaran agama kepada para siswa 
di sebuah sekolah umum di Inggris, ia diminta mengajarkan pendidikan 
Studi agama.
”Saya mengajar tentang agama Kristen, Islam, Yudaisme, Buddha dan 
lain-lain. Jadi, setiap hari saya harus membaca tentang agama Islam 
untuk bisa saya ajarkan pada para siswa. Dan, di sana banyak terdapat 
siswa Muslim keturunan Arab. Mereka memberikan contoh pesahabatan yang 
baik, bersikap santun dengan teman lainnya. Dari sini, saya makin intens
 berhubungan dengan siswa Muslim,” ujarnya.
Dan selama bulan Ramadhan, kata dia, dia menyaksikan umat Islam, 
termasuk para siswanya, berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih 
bersama-sama. ”Hal itu saya saksikan hampir sebulan penuh. Dan, lama 
kelamaan saya belajar dengan mereka, kendati waktu itu saya belum 
menjadi Muslim,” papar Tawfiq.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat 
Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, 
ia pun tertegun. ”Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan 
kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata 
disebabkan kebenaran (Alquran).” (Qs.Al-Maidah ayat 83).
Secara tiba-tiba, kata Tawfiq, ia pun merasakan apa yang disampaikan 
Alquran. Ia menangis. Namun, hal itu ia sembunyikan dari pandangan para 
siswanya. Ia merasa ada sesuatu di balik ayat tersebut.
Dari sini, Tawfiq makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika 
terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar 
World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang 
menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih 
memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
”Awalnya saya sempat takut juga. Saya khawatir peristiwa serupa terulang
 di Inggris. Apalagi, orang barat telah mencap pelakunya adalah orang 
Islam. Mereka pun mengecamnya dengan sebutan teroris,” kata Tawfiq.
Namun, Tawfiq yakin, Islam tidak seperti yang dituduhkan. Apalagi, 
pengalamannya sewaktu di Mesir, Islam sangat baik, dan penuh dengan 
toleransi. Ia pun bertanya-tanya. ”Mengapa Islam? Mengapa kita 
menyalahkan Islam sebagai agama teroris. Bagaimana bila kejadian itu 
dilakukan oleh orang Kristen? Apakah kemudian Kristen akan dicap sebagai
 pihak teroris pula?” Karena itu, ia menilai hal tersebut hanyalah 
dilakukan oknum tertentu, bukan ajaran Islam.
Masuk Islam
Dari situ, ia pun mencari jawabannya. Ia berkunjung ke Masjid terbesar 
di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam (Cat Steven) tentang 
Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ”Apa
 yang akan kamu lakukan bila menjadi Muslim?”
Yusuf Islam menjawab. ”Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, 
shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,” ujar 
Yusuf.
Tawfiq berkata, ”Semua itu sudah pernah saya lakukan.”
Yusuf berkata, ”Lalu apa yang Anda tunggu?”
Saya katakan, ”Saya masih seorang pemeluk Kristiani.”
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Para jamaah
 bersiap-siap melaksanakan shalat. Dan, saat shalat mulai dilaksanakan, 
saya mundur ke belakang, dan menunggu hingga selesai shalat.
Namun, di situlah ia mendengar sebuah suara yang mempertanyakan 
sikapnya. ”Saya lalu berteriak, kendati dalam hati. ”Siapa yang mencoba 
bermain-main dengan saya.” Namun, suara itu tak saya temukan. Namun, 
suara itu mengajak saya untuk berislam. Akhirnya, setelah shalat selesai
 dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan 
ingin masuk Islam di hadapan umum. 
Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat. 
”Ayshadu an Laa Ilaha Illallah. Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.” 
Saya bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan 
Allah.
Jamaah pun menyambut dengan gembira. Ia kembali meneteskan air mata, 
bukan sedih, tapi bahagia. Ia mantap memilih agama yang dibawa Nabi 
Muhammad SAW ini. Dan, ia tidak menyesali telah menjadi pengikutnya. 
Berbagai gelar dan penghargaan yang diterimanya dari gereja, ia 
tanggalkan.
Seperti diketahui, Idris Tawfiq memperoleh gelar kesarjanaan dari 
University of Manchester dalam bidang sastra, dan gelar uskup dari 
University of Saint Thomas Aquinas di Roma. Dengan gelar tersebut, ia 
mengajarkan pandangan Katholik pada jemaatnya. Namun, akhirnya ia 
beralih mengajarkan Islam kepada masyarakatnya. Selama bertahun-tahun, 
Tawfiq mengepalai pusat Studi keagamaan di berbagai sekolah di Inggris 
dan Wales, sebelum dia masuk agama Islam.
”Dulu saya senang menjadi imam (pastor–Red) untuk membantu masyarakat 
selama beberapa tahun lalu. Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak 
nyaman dan kurang tepat. Saya beruntung, Allah SWT memberikan hidayah 
pada saya, sehingga saya semakin mantap dalam memilih Islam. Saya tidak 
menyesal meninggalkan tugas saya di gereja. Saya percaya, kejadian 
(Islamnya–Red) ini, lebih baik dibandingkan masa lalu saya,” terangnya.
Berdakwah Lewat Lisan dan Tulisan
Ketika ditanyakan pada Idris Tawfiq tentang perbedaan besar antara 
Kristen Katholik dan Islam, ia berkata: ”Dasar dari agama Islam adalah 
Allah. Semua perkara disaksikan Allah, tak ada yang luput dari 
perhatian-Nya. Ini berbeda dengan yang saya dapatkan dari agama 
sebelumnya. Islam merupakan agama yang komprehensif.”
Ia menambahkan, Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa beribadah 
kepada Allah setiap saat. Tak terbatas hanya pada hari Minggu. Selain 
itu, kata dia, Islam mengajarkan umatnya cara menyapa orang lain dengan 
lembut, bersikap ramah, mengajarkan adab makan dan minum, memasuki kamar
 orang lain, cara bersilaturahim yang baik. ”Tak hanya itu, semua 
persoalan dibahas dan diajarkan oleh Islam,” terangnya.
Penceramah dan penulis
Caranya bertutur kata, sikapnya yang sopan dan santun banyak disukai 
masyarakat. Gaya berbicaranya yang baik sangat sederhana dan lemah 
lembut, menyentuh hati, serta menyebabkan orang untuk berpikir. Ia pun 
kini giat berceramah dan menulis buku tentang keislaman.
Ia memberikan ceramah ke berbagai tempat dengan satu tujuan, menyebarkan
 dakwah Islam. Idris Tawfiq mengatakan, dia bukan sarjana. Namun, ia 
memiliki cara menjelaskan tentang Islam dalam hal-hal yang sangat 
sederhana. Dia memiliki banyak pengalaman dalam berceramah dan mengenali
 karakter masyarakat.
Ia juga banyak memberikan bimbingan dan pelatihan menulis serta 
berpidato bagi siswa maupun orang dewasa. Kesempatan ini digunakannya 
untuk mengajarkan pada orang lain. Termasuk, menjelaskan Islam pada 
dunia Barat yang banyak menganut agama non-Muslim.
Idris juga dikenal sebagai penulis. Tulisannya tersebar di berbagai 
surat kabar, majalah, jurnal, dan website di Inggris Raya. Ia juga 
menjadi kontributor regional dan Konsultan untuk website 
www.islamonline.net dan www.readingislam.com.
Dia menulis artikel mingguan di Mesir Mail, koran tertua Mesir berbahasa
 Inggris, dan Sawt Al-Azhar, surat kabar Al-Azhar University. Dia adalah
 pengarang sejumlah buku. Antara lain, Dari surga yang penuh kenikmatan:
 sederhana, pengenalan Islam; Berbicara ke Pemuda Muslim; Berbicara ke 
Mualaf. Selain itu, ia juga menjadi juru bicara umat Islam di Barat. Ia 
juga banyak berceramah melalui radio dan televisi.