"Setelah aku mati, apa yang terjadi selanjutnya,” demikian pertanyaan Katlin Hommik-Mrabte sewaktu usia tiga tahun.
Katlin besar di Estonia. Sedari kecil, ia dididik bahwa Tuhan itu tidak ada. Sekalipun ada, bayangan itu terbatas yakni hanya berupa sosok berjubah putih, dengan janggut panjang. Selebihnya tidak ada bayangan sama sekali. ” Setiap kali, aku bertanya soal Tuhan. Ayah tampak diam seribu bahasa. Ia tidak bisa menjawabnya,” kenang Katlin.
Meski tidak mendapatkan jawaban, Katlin percaya adanya sosok Tuhan. Ia mungkin tidak tahu siapa sosok itu, dan dimana ia berada. Namun, dalam pemahaman Katlin, ketika ia berbuat baik maka perbuatan baik itu bukan untuk orang tuanya melainkan untuk Tuhan. Karena menurut Katlin, Tuhan itu selalu mengawasinya sementara orang tuanya tidak sama sekali.
Sepulang dari sekolah, Katlin diajak sang ayah untuk melihat neneknya. Ia lahir ketika Republik Estonia berdiri. Ia merupakan penganut Kristen yang tersisa. Oleh neneknya, Katlin diajarkan nama dari sosok yang dicari yakni Tuhan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Ia mengajariku doa dalam kepercayaan Kristen. Sejak itu, benuh-benih keimananku mulai tumbuh,” kata dia.
Pada usia 11 tahun, ia mengikuti sekolah minggu. Yang mengecewakan Katlin, setiap pertanyaan yang terlontar tidak mendapat jawaban. Ia bahkan dianggap terlalu banyak bertanya. “Aku tidak memahami mereka. Apakah salah bertanya, mengapa Nabi Adam AS tidak disebut anak Tuhan. Meski ia tidak memiliki seorang ibu atau ayah,” kata dia.
Memasuki usia 15 tahun, Katlin mulai mendalami Kristen secara mandiri. Awalnya, ia menganggap dirinya Kristen. Tapi, ia memahami bahwa sulit untuk menggatakan dirinya seorang Kristen apabila banyak hal dari ajaran Kristen yang tidak ia pahami. “Saat itu,aku mulai mencari sesuatu yang lain,” kata dia.
Setelah belajar berbagai jenis agama akhirnya Katlin menemukan Islam. Butuh waktu lama, bagi Katlin untuk mempelajari Islam. Di sisi lain, banyak orang yang menanyakan putusannya menjadi muslim. Setiap pertanyaan itu, membuat dirinya merasa dilema. “Sebenarnya siapa aku. Butuh tiga tahun hingga akhirnya aku mengatakan dengan lantang bahwa aku seorang muslim,” tegasnya.
Tepat di usia 21 tahun, Katlin memeluk Islam. Selanjutnya, ia jalani puasa pertama. Ia tempa dirinya dengan baik sehingga memperkuat keimannya. Ia merasakan bagaimana tidak makan dan minum seharian layaknya orang tidak mampu. Ramadhan mendidiknya untuk merasakan penderitaan orang lain, hingga akhirnya ia temukan kesempurnaan dan kebenaran.
“Sebagai muslim, kita benar-benar diberkati. Di bulan Ramadhan, setiap muslim dididik menjadi lebih baik. Insya Allah,” pungkas dia.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar